Mengubah
Nasib Labuan memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bim salabim,
layaknya pesulap ulung yang dapat menghilangkan sesuatu dan memunculkannya
kembali dalam sekejap. Di Labuan seputar kemiskinan, pengangguran, peningkatan
kesejahteraan, pendidikan murah, kesehatan gratis, pemerintahan yang bersih dan
bebas korupsi, toleransi beragama, suasana serba kekurangan, fasilitas dan
infrastruktur “Mahahancur” (jalan Labuan–Pandeglang), hampir selalu menjadi
materi “obrolan” masyarakat.
Banyak
hal potensial lain yang bisa “dilakukan” dan “digarap” oleh pemerintah daerah
pandeglang ataupun pemerintahan kecamatan Labuan dalam meraih simpati publik
dan mensejahterakan masyarakatnya. Pertama, Persoalan ekonomi misalnya.
Kemajuan perekonomian Labuan ini tidak bisa diselesaikan dengan menyuguhkan
satu proposal program, misal ekonomi kerakyatan saja. Namun harus lebih
komprehensif, dan memiliki skala prioritas. Sektor riil, sektor koperasi,
pemberdayaan ekonomi lemah, penguatan ekonomi mikro dan makro juga harus
sejalan sinergis menopang pertumbuhan ekonomi. Disinilah pemerintah pandeglang
di uji kemampuannya untuk menyuguhkan solusi konkret bagi perbaikan sistem dan
maksimalisasi sektor perekonomian pandeglang. Kedua, pendidikan. Persoalan pendidikan bisa menjadi
salah satu topik ‘implementasi’ pemerintah Pandeglang untuk meraih simpati
publik. Coba tengok Paiton Bojonegoro, sebuah daerah mirip Labuan dimana
disekitarnya ada perusahan-perusahaan besar mampu memnfaatkan dana CSR dan
mampu menghadirkan digitalisasi di ruang-ruang kelas dengan memberikan jatah
satu komputer untuk setiap anak disekitarnya.
Luar biasa!!. Pendidikan sebenarnya bisa menjadi ”magnet” besar
ketertarikan masyarakat. Pasalnya, pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi
manusia. Keinginan untuk mendapatkan kualitas pendidikan terbaik di tengah
kehidupan ekonomi yang serba terbatas, menjadikan masyarakat begitu haus akan
adanya tawaran perubahan kebijakan, semisal pendidikan gratis dan beasiswa
pendidikan bagi kalangan miskin. Ketiga, kesehatan juga sangat menarik. Isu kesehatan
menjadikannya sebagai tawaran cerdas menghadapi persoalan Pandeglang. Lebih
lagi bila berkolaborasi dengan isu pendidikan.
Di
Tahun 2014 ini, Labuan infrastruktur demokrasi sudah mulai mapan, hak-hak
rakyat secara politik sudah mulai terbangun, rakyat “kesadarannya” sudah
bergeser mengikuti kondisi faktual. Akan tetapi, ironisnya secara ekonomi
masyarakat kita semakin terpuruk. Recovery akibat krisis ekonomi tidak
menyentuh masyarakat kecil terbukti dengan masih tingginya angka kemiskinan dan
tingkat pengangguran, masih rendahnya tingkat pendapatan yang diperparah dengan
senjangan pendapatan (income gap).
Memang, sudah sepantasnya masyarakat Labuan kini dan kedepan, tidak hanya di
jadikan komoditas politik. Yang lelah menunggu, diamputasi hak-haknya, dianulir
segala harapan dan masa depannya. Tiba waktunya kini suara masyarakat Labuan
benar-benar menjelma menjadi suara Tuhan (Voc
populi voc Dei), menikmati deposito-deposito kesejahteraan yang telah lama
tergadaikan. Masyarakat Pandeglang sudah saatnya bisa membuka rekening
kemakmuran yang riil, tidak sekedar untuk menaruh dan menyimpan dokumen dan
arsip dukungan lima tahunan.
Kota Nelayan dan “jebakan kemiskinan”
Dari Google |
Nampaknya masyarakat nelayan sulit dilepaskan
dari “jebakan kemiskinan”, betapa tidak, akhir-akhir ini masyarakat nelayan
dihadapkan pada musim “paceklik” (paila, bahasa
sunda-nya) yang tak kunjung akhir. Untuk mengatasi masalah di musim paceklik
ini, berbagai upaya telah dilakukan nelayan, contohnya adalah beberapa nelayan
Labuan menjual perhiasan istri demi menyambung hidup keluarganya. Selain itu,
kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan
masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi
ketidakpastian (uncertainty) dalam
menjalankan usahanya. Kondisi inilah yang mengakibatkan nelayan dijauhi oleh
institusi-institusi perbankan dan perusahaan asuransi, seperti sulitnya
masyarakat nelayan mendapatkan akses pinjaman modal, baik untuk modal kerja
maupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Di tengah kesusahan
itulah, masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya pada institusi lain yang
mampu menjamin keberlangsungan hidup keluarganya. Jaminan sosial dalam suatu
masyarakat merupakan implementasi dari bentuk-bentuk perlindungan, baik yang
diselenggarakan oleh negara, maupun institusi-institusi sosial yang ada pada
masyarakat terhadap individu dari resiko-resiko tertentu dalam hidupnya (Benda-Beckmann, 2001).
Begitupun dengan, keluhan dan “Pusing” dengan
tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) yang tidak hanya dirasakan pemilik
kendaraan “darat”, sejumlah nelayan “sang pemilik kendaraan laut” terpaksa
harus mengurungkan niat mencari ikan karena “mahalnya” ditambah dengan
ketiadaannya solar. Memang
kenaikan harga BBM, “sangat” menimbulkan fenomena baru dalam masyarakat.
Beragam warna, beragam ”hiruk-pikuk”, dari masalah internal atau eksternal
“muncul”. Ada yang disebut dengan nelayan
tradisional yang selalu mengandalkan BBM yang diadakan oleh Pertamina setempat,
berbeda dengan nelayan besar yang menggunakan alat tangkap modern. Nelayan yang
memiliki kapal besar dan alat tangkap modern bisa saja mendapatkan atau membeli
BBM di kepulauan atau provinsi terdekat tempat mereka mencari ikan, namun bagi
nelayan tradisional mereka memiliki keterbatasan jelajah. Padahal, kawasan pantai timur yang 80 persen
warganya nelayan tradisional memberikan kontribusi besar dalam produksi perikanan
tangkap, untuk itu kelancaran pasokan BBM sangat menentukan. Perlu diingat!!
tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) dan kelangkaan BBM tidak saja akan
berpengaruh pada penurunan produksi perikanan, namun lebih luas berdampak pada
kehidupan nelayan yang masih dikelompokkan dalam masyarakat ekonomi menengah ke
bawah.
Kota nelayan dan ”Jebakan” Kemiskinan, bisa
jadi memiliki arti bahwa masyarakat nelayan miskin tidak mempunyai hak atas
kuasa sumber daya perikanan karena keterbatasan sumber daya dan keterbatasan
akses. Kawasan lautan kebanyakan diakses dan didominasi oleh pemilik modal dan
birokrat. atau kolaborasi keduanya. Sebagai contoh, operasi pukat harimau (trawl), penyerobotan wilayah tangkap
oleh nelayan-nelayan besar bahkan nelayan dari luar wilayah NKRI atau nelayan
asing yang cenderung diabaikan oleh pemerintah, sehingga wilayah tangkap
nelayan tradisional (traditional fishing
ground) terbatas, dan terbatas pula sumber daya perikanannya.
![]() |
Dari Google |
Kota nelayan dan ”Jebakan” Kemiskinan juga,
berkaitan sekali dengan masalah yang menjadi semakin problematik dalam situasi
perkotaan. Dalam latar urban, siapakah yang disebut “nelayan”? Jika dilakukan
pengukuran dengan berbagai parameter statistik kependudukan yang tersedia,
siapa saja yang menjejali pesisir perkotaan dapat masuk dalam kategori yang
dipahami sebagai “kaum miskin kota” (urban
poor). Pada kenyataannya, pekerjaan nelayan tidak dapat serta-merta
disamakan dengan apa yang dilakukan oleh kaum miskin kota untuk penghidupannya,
yang identik dengan sektor-sektor non-formal dan bahkan merupakan masalah
sosial perkotaan yang serius. Mudahnya, nelayan seharusnya menjadi perhatian
sepenuhnya dinas perikanan setempat dan tidak menjadi urusan dinas sosial. Hal
ini perlu ditegaskan karena jika kelak sektor perikanan secara statistik sudah
dianggap “punah” dan dinas terkaitnya di pemerintahan daerah dilikuidasi, maka
para “mantan nelayan” tidak ayal akan menjadi tambahan pekerjaan rumah bagi
dinas sosial.
Sungguh ironis memang, dengan sumber daya alam
laut yang luar biasa, nasib nelayan seakan diam ditempat. Secara normatif
seharusnya hidup dalam kesejahteraan. Namun kenyataannya, sebagian besar
masyarakat pesisir masih merupakan masyarakat tertinggal dibandimg komunitas
masyarakat lain. Itu disebabkan karena tingkat pendidikan mereka masih rendah.
Masa depan kelestarian pengelolaan potensi kelautan kita membutuhkan kearifan
dan sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola dan
memanfaatkannya.
Menuju era industrialisasi, wilayah
pesisir dan lautan merupakan prioritas utama untuk pusat pengembangan industri,
pariwisata, agribisnis, agroindustri pemukiman, dan transportasi. Kondisi
demikian bagi kota-kota yang terletak di wilayah industri terus dikembangkan
menuju tata ekonomi baru dan industrialisasi. Tidak mengherankan bila sekitar 65%
penduduk Indonesia bermukim di sekitar wilayah pesisir. (Dra. Wahyuningsih
Darajati, MSc., 2004).
Potret pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan lautan selama kurun waktu Orde Baru, dicirikan oleh kurang
mengindahkannya aspek kelestarian lingkungan, serta ketimpangan pemerataan
pendapatan antara nelayan tradisional dan pelaku industri. Pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, sangat diwarnai oleh rezim yang bersifat
open acces, sentralistik,
seragamisasi, kurang memperhatikan keragaman biofisik alam dan sosio-kultural
masyarakat lokal. Bahkan antara kelompok pelaku komersial (sektor modern)
dengan kelompok usaha kecil dan subsisten (sektor tradisional) saling
mematikan. Dampak nyata pengelolaan sumberdaya wialayah pesisir dan lautan adalah
munculnya konflik musiman antara nelayan dan masyarakat setempat (sektor
tradisional) dan pelaku industri komersial (sektor modern).
Sebagaimana disorot Koalisi Rakyat
Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tentang adanya kriminalitas di perairan
perbatasan, disebutkan hingga akhir tahun 2012, terjadi 68 konflik kelautan dan
perikanan. Angka konflik ini meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya,
yakni 28 konflik,”. Dari keseluruhan konflik tersebut, terdapat 20 konflik yang
masih berlanjut dan belum menemui solusi.
![]() |
Dari Google |
Dengan karakteristik wilayah laut dan
pesisir yang banyak permasalahan tersebut yang sebagaimana disampaikan di atas,
wilayah laut dan pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait
dengan penataan ruang diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, Potensi konflik
kepentingan (conflict of interest)
dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir. Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya
terjadi antar “users”, yakni sektoral
dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat, namun juga antar penggunaan
antara lain: kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau
(mangrove), terumbu karang dan biota laut lainnya, perikanan budidaya maupun
tangkapan pariwisata bahari dan pantai, pertambangan, seperti minyak, gas,
timah dan galian lainnya, serta pemerataan pembangunan di wilayah Pesisir. Kedua,
Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir bermata pencaharian di
sektor-sektor non-perkotaan. Sebagian besar dari 126 kawasan tertinggal yang
diidentifikasi dalam kajian Penyempurnaan RTRWN merupakan wilayah pesisir. Dan Ketiga,
Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan terhadap
pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak terkendali. Salah satu faktor penyebabnya
adalah belum adanya konsep pembangunan masyarakat pesisir sebagai subyek dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Walaupun telah menjadi common interests, proses pelibatan
masyarakat sebagai subyek utama dalam pengelolaan wilayah pesisir masih belum
menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan kewajiban
dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik antar kepentingan yang sulit dicarikan
solusinya, meningkatkan transaction cost,
dan cenderung merugikan kepentingan pemerintah dan perusahaan serta masyarakat
umumnya. Hal lainnya adalah menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar
berbagai kepentingan seluruh stakeholders dapat terakomodasi secara adil,
efektif, dan seimbang. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan
konsensus yang disepakati bersamaserta dilakukan dengan memperhatikan
karakteristik sosial-budaya setempat (local
unique).
Sebagai
catatan akhir, “substansi” analisis tulisan sederhana ini adalah Pertama,
menuntut tanggung jawab yang semakin besar pada pemerintah. Pemerintah tidak
lagi mengontrol persoalan secara langsung. Namun demikian perubahan paradigma
yang cukup radikal ini justru memberi ruang kepada masyarakat luas selaku stakeholder untuk menjalankan fungsi
kontrol yang bukan tidak mungkin akan lebih efektif kepada setiap kebijakan
yang ada. Kedua, perlunya skala prioritas utama dalam pengembangan
Analisis, FGD, dan Survey di setiap “sudut rakyat” untuk dapat mendorong
pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan pembangunan masyarakat
sekitarnya agar dapat mengurangi angka kemiskinan dan efek-efek negatif sosial
lainnya, tentunya dengan tidak mengabaikan aspek lingkungan masyarakat
sekitarnya.
Potensi
“ide” yang sangat fantastis ini jika dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
maka setidaknya akan dapat mengurangi beban pemerintah dalam mengurangi
angka kemiskinan di negeri ini. Ketiga,
Bagi masyarakat nelayan, jaringan sosial merupakan salah satu potensi
budaya yang dapat dimanfaatkan secara kreatif untuk menyikapi tekanan ekonomi.
Kendati pun demikian, harus diakui bahwa pemanfaatan fungsi jaringan sosial
masih bersifat karitatif, bukan merupakan solusi substansial untuk mengatasi
berbagai kesulitan sosial-ekonomi rumah tangga nelayan secara mendasar. Hal ini
dikarenakan, faktor-faktor penyebab kesulitan memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari atau kemiskinan di kalangan masyarakat nelayan sangat kompleks.
Terakhir, untuk itu “sangat-amat” diperlukan
kebijakan pemerintah yang nyata dalam mengatasi Nelayan dan ”Jebakan”
Kemiskinan ini, dan jurus “pamungkas” salah satunya adalah jaminan sosial.
Jaminan yang dibutuhkan masyarakat nelayan tidak muluk-muluk, mereka hanya
memerlukan tersedianya dana kesehatan dan dana paceklik (paila, bahasa
sunda-nya). Sementara itu, kebijakan tersebut harus disusun oleh struktur
sosial budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun
dengan sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan. Hal ini
dikarenakan, pranata-pranata sosial budaya yang ada merupakan potensi
pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi
kemiskinan dan kesulitas ekonomi lainnya. Akankah permasalahan klasik “Kota Nelayan dan ”Jebakan” Kemiskinan”
ini akan menjadi perhatian pemerintah. Semoga!
(Oleh : Eko Supriatno)
(Oleh : Eko Supriatno)
0 Response to "Mengubah Nasib Labuan"
Posting Komentar
DILARANG KERAS!!
1. Berkomentar Tidak Sopan
2. Sesuai dengan topik