Dewan Keamanan PBB, Kamis
(10/4/2014), bersuara bulat menyetujui pengiriman pasukan penjaga
perdamaian ke wilayah yang dilanda krisis Islam-Kristen, Republik Afrika
Tengah. Sebanyak 12.000 tentara terbaik akan dikirimkan ke negara itu
pada 15 September 2014.
Konflik di Republik Afrika Tengah sudah
meningkat menjadi konflik agama yang penuh dengan pembunuhan,
penyiksaan, dan kekerasan seksual. Sebanyak 10.000 tentara dan 1.800
polisi dari PBB tersebut akan mengambil alih pengamanan wilayah itu dari
5.000 tentara Uni Afrika.
Saat ini sudah ada pula 2.000 pasukan
terkuat Perancis yang berada di Afrika Tengah. Mereka mendapatkan
kewenangan untuk menggunakan segala cara yang diperlukan dalam upaya
meredam konflik di negara ini.
Pertanyaan besar yang menghadang
pasukan perdamaian PBB adalah seberapa besar tindakan yang dapat mereka
ambil di wilayah tersebut. Menjaga warga sipil, terutama di pedesaan
Republik Afrika Tengah, sudah terbukti merupakan pekerjaan sulit, bahkan
hampir mustahil.
Berukuran sebesar Texas di Amerika Serikat,
banyak jalan di negara tersebut, yang memerdekakan diri dari Perancis
pada 1960, belum pernah mendapat perbaikan. Banyak pula warga yang
mengungsi, menyelamatkan diri dari kekerasan di negara itu, ke daerah
sabana.
Kekacauan di Afrika Tengah meningkat sejak kudeta terjadi
pada Maret 2013. Saat itu, kudeta dilancarkan kubu yang didominasi
warga Muslim, Seleka. Mereka menggulingkan rezim yang berkuasa dengan
cara-cara brutal.
Anti-Balaka kemudian menyerang balik markas
Seleka di Bangui pada 5 Desember 2013. Menyusul kehancuran pemerintahan
yang hancur pada Januari 2014, Anti-Balaka meningkatkan aksi kekerasan,
memaksa warga Muslim melarikan diri dari kampung-kampung mereka sendiri.
Di jalanan Bangui, ibu kota Afrika Tengah, unjuk rasa yang
terjadi menjadi reaksi atas rencana PBB itu. Cyrius Zemangui-Kette (25),
pengangguran, mengatakan, pasukan PBB seharusnya sudah dikirimkan
jauh-jauh hari sebelumnya. Namun, ujar dia, masyarakat internasional
malah menjauh dan membiarkan situasi telanjur memburuk di Afrika Tengah.
"Mereka mengatakan akan tiba pada bulan September," kata Kette.
"Sampai saat itu, banyak orang Afrika Tengah akan terus mati. Jadi,
mereka datang untuk menyelamatkan siapa?" Bentrokan antara kubu Islam
dan Kristen di Dekoa yang dimulai sejak Selasa (8/4/2014), misalnya,
telah menewaskan tak kurang dari 30 orang. Sebagian besar korban adalah
warga sipil.
Berbicara di markas besar PBB di New York,
Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon menyerukan diakhirinya pembunuhan.
Adapun Menteri Luar Negeri Republik Afrika Tengah, Toussaint Kongo-
Doudou, mengatakan peletakan resolusi baru ini akan memberikan jalan
keluar negaranya dari krisis.
Perancis, bekas penjajah negara
itu, memimpin mobilisasi dukungan internasional untuk mengatasi krisis
Afrika Tengah. Namun, duta besarnya, Gerard Araud, mengatakan situasi di
Afrika Tengah tetap seperti sebelumnya.
"Pasukan Uni Afrika
yang didukung oleh tentara Perancis melakukan pekerjaan luar biasa untuk
melindungi penduduk sipil, tapi itu belum cukup," ujar Araud saat
pemungutan suara untuk resolusi baru PBB. "Resolusi yang baru saja kita
adopsi adalah titik balik penting."
Duta Besar AS Samantha
Power juga memuji resolusi tersebut. "Saya pribadi bisa membuktikan
urgensi krisis untuk membawa keamanan lebih baik ke Republik Afrika
Tengah." Power berangkat ke Afrika Tengah setelah memimpin delegasi
Amerika Serikat mengikuti peringatan 20 tahun pembantaian massal di
Rwanda, pembantaian yang dia sebut telah mengajarkan harga dari sebuah
kelambanan menghadapi kemarahan massa.
Resolusi memuat pernyataan
keprihatinan atas praktik pelanggaran hak asasi manusia dan hukum
internasional di negara itu. Kedua kelompok bersenjata juga harus
meletakkan senjata serta membebaskan anak-anak dari keharusan menjadi
tentara di kubu masing-masing. Dewan Keamanan meminta mandat yang kuat
dan pemberian kewenangan yang luas kepada pasukan PBB untuk memulihkan
perdamaian dan melucuti senjata. Tujuannya ialah agar penyelidikan
pelanggaran HAM dan hukum kemanusiaan dapat terungkap bersama
penangkapan pelaku.
Selain itu, resolusi juga mendesak
percepatan pemilu di Afrika Tengah, paling lambat pada 15 Februari 2015.
Philippe Bolopion, Direktur PBB untuk Human Rights Watch, mendesak PBB
dan negara-negara anggota untuk membuat PBB mempercepat mengambil
tindakan di lapangan. "Termasuk menyediakan pasukan yang dipilih dengan
pemeriksaan mendalam sehingga misi PBB itu sendiri tak kemudian terlibat
dalam dugaan pelanggaran."
Home » Berita
» Pertikaian Kristen-Islam Meningkat, DK PBB Setujui Resolusi Pengiriman Pasukan ke Afrika Tengah ( Berita Malam )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Dari sekian banyak tentara itu, apa yg mereka lakukan?knp mesti pbb yg turun tangan apa tdk bisa ditangani oleh wilayahnya sendiri, kemudian jika hal seperti itu terjadi di indonesia, apa akan ikut serta jg pbb membantu dlm perdamaian dunia?
BalasHapus