Menyegarkan Kembali Pancasila



Menyegarkan Kembali Pancasila

Oleh. Eko Supriatno

“….Garudaku terjanglah angin itu
Kepakan sayapmu,
cengkramlah dengan erat pancasila yang kau emban…”

(Efri Fahmi Aziz, dalam “Garuda Lelah Pancasila Entah”)


Sebenarnya tulisan ini adalah materi penulis ketika menjadi narasumber pada acara Workshop yang bertemakan Kebangsaan di Labuan (tempat tinggal penulis) beberapa waktu yang lalu. Entah kenapa saya bersemangat sekali ingin menulis kembali dalam mimbar yang berbeda setelah workshop itu selesai.

Agak mengherankan memang dari judulnya juga, “Menyegarkan Kembali Pancasila”.

Asumsi penulis, di era reformasi ini, berbagai fenomena yang memprihatinkan dan mengkhawatirkan telah terjadi.

Betapa kita terhenyak dengan “ujug-ujug” munculnya “makhluk” yang benama ISIS ataupun kekerasan-kekerasan komunal dan primordial lainnya yang mencabik-cabik kebhinekaan serta menggoyahkan sendi-sendi integrasi bangsa.

Sehingga peran Pancasila dalam kehidupan di Indonesia sangat dibutuhkan untuk saat ini. Implementasi fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup, juga akan menentukan keberhasilan fungsi Pancasila sebagai “penjaga integrasi bangsa”. Sungguh “elok” tentunya, jika setiap warga negara melaksanakan Pancasila dengan sepenuh hati dan menghayati Pancasila sebagai pandangan hidup (mempunyai karakter/moral Pancasila).

Tetapi di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menuntun masyarakat lagi. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena rezim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter. Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.


Pada era Reformasi ini juga, bunyi-bunyi-an tentang Pancasila semakin menghilang, hanya pada akhir-akhir ini saja Pancasila menjadi sering masuk dalam ranah publik lagi. Tetapi melihat gelagat yang ada, pembicaraan tentang Pancasila, terutama yang keluar dari pihak penguasa, baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif, justru seakan-akan menjadi sebuah selubung dari kenyataan yang ada. Atau dalam term Paul Ricouer, pembicaraan soal Pancasila kemudian hanya menjadi pembicaraan ideologi dalam level permukaan, fungsi distorsi, yang mengakibatkan pemahaman akan Pancasila menjadi “layu”.

Menurut penulis, secara “segar” ada dua hal faktor yang membuat Pancasila itu “layu”: Pertama, Masih kurangnya implementasi nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Imbasnya berdampak luas dalam sendi kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali dalam aspek budaya yang selama ini tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Kondisi sekarang ini bahkan lebih miris lagi lantaran budaya lokal seolah lenyap termakan liberalisme. Dan Kedua, Kurangnya komitmen dan tanggung jawab para pemimpin bangsa dalam melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Akibatnya, mendorong munculnya kekuatan baru yang tidak melihat Pancasila sebagai falsafah dan pegangan hidup bangsa Indonesia lagi. Imbasnya terjadi kekacauan dalam tatanan kehidupan berbangsa, di mana kelompok tertentu menganggap nilai-nilainya yang paling bagus. Lunturnya nilai-nilai Pancasila pada sebagian masyarakat dapat berarti awal sebuah malapetaka bagi bangsa dan negara kita. Fenomena itu sudah bisa kita saksikan dengan mulai terjadinya kemerosotan moral, mental dan etika dalam bermasyarakat dan berbangsa terutama pada generasi muda. Timbulnya persepsi yang dangkal, wawasan yang sempit, perbedaan pendapat yang berujung bermusuhan dan bukan mencari solusi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, anti terhadap kritik serta sulit menerima perubahan yang pada akhirnya cenderung mengundang tindak anarkhis.

Jika dibandingkan pemahaman masyarakat tentang Pancasila dengan dua puluh tahun yang lalu, sudah sangat berbeda, saat ini sebagian masyarakat cenderung menganggap Pancasila hanya sebagai suatu simbol negara dan mulai melupakan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.

Padahal Pancasila yang menjadi dasar negara dan sumber dari segala hukum dan perundang-undangan adalah nafas bagi eksistensi bangsa Indonesia itu sendiri. Sementara itu, lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akibat tidak satunya kata dan perbuatan para pemimpin bangsa, Pancasila hanya dijadikan slogan di bibir para pemimpin, tetapi berbagai tindak dan perilakunya justru jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Contoh yang tidak baik dari para pemimpin bangsa dalam pengamalan Pancasila telah menjalar pada lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang sudah ditentukan oleh para pendiri negara ini haruslah menjadi sebuah acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai tantangan dalam menjalankan ideologi pancasila juga tidak mampu untuk menggantikan pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Untuk itu tentunya pancasila harus terus dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai dasar negara. Dan itu sebagai bukti bahwa pancasila merupakan ideologi sejati bagi bangsa Indonesia.

Selain sebagai dasar negara, Pancasila juga merupakan cita-cita moral bangsa. Cita-cita moral bangsa dan pandangan hidup bangsa. Yang bermakna bahwa Pancasila adalah “konstruksi pikiran” suatu bangsa yang berisi preskripsi atau perintah moral bagi bangsa tersebut untuk mencapai cita-cita yang diinginkannya bersa­ma. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi se­bagai “haluan” atau leitsteren untuk tercapainya cita-cita bersama. Meskipun leitsteren itu merupakan titik akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin di­capai sepenuhnya, tetapi leitsteren itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji atau melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya, serta menjadi pedoman dalam mengambil keputusan praktis atas problematik yang dihadapi. Maka di tangan rakyat, Pancasila adalah ideologi kritis, ideologi yang mana dapat untuk mengecek apakah negara atau penyelenggara kekuasaan negara sudah menjalankan kekuasan atas dasar Pancasila atau belum.

Pancasila jika dijadikan sebuah slogan saja hanya akan melahirkan sebuah hipokrisi yang entah bisa dimengerti maknanya atau tidak, mungkin hanya akan menjadi pajangan saja. Di negeri ini sumber daya alam berlimpah, cendekiawan tidak kurang banyaknya, fasilitas keilmuan juga lengkap, seharusnya semua itu bisa merubah negeri ini untuk terus menjadi lebih baik, jika kualitasnya berbanding lurus dengan kuantitas. Pancasila memang bukan kitab suci yang tidak bisa disalahkan, dan jangan salahkan Pancasila jika tidak bisa mengobati penyakit negeri ini, karena tingkah laku masyarakatnya yang seharusnya diubah. Seharusnya diadakan sebuah refleksi terhadap eksistensi nilai Pancasila, perlu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan dianalisis agar Pancasila bisa menjadi “segar” kembali.

Sejarah telah memperlihatkan bahwa betapa bangsa ini sudah tidak paham akan nilai Pancasila sebagai landasan berpikir dan berperilaku, dilihat dari merebaknya konflik separatis yang mengatasnamakan ketidakadilan terhadap etnis tertentu. Konflik yang mengatasnamakan agama-sekularisme juga tidak sedikit menorehkan sejarah gelap bangsa ini, dengan terjadinya teror terhadap suatu pemeluk agama dan kepercayaan tertentu. Hal tersebut salah satunya dikarenakan pemahaman terhadap sila pertama Pancasila hanya sebatas pada konsep ketuhanan, terkesan hanya supaya Indonesia ada bau-bau ketuhanan, belum sampai pada tahap mengikutsertakan Tuhan di dalamnya. Gede Prama mengatakan bahwa setiap agama punya home masing-masing, yaitu semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan sebagai jalan setiap pemeluknya untuk menemukan Tuhan.

Menyegarkan Kembali Pancasila

Sebagian besar atau bahkan mungkin semua orang Indonesia tahu bahwa Pancasila berisi lima dasar pedoman bernegara. Pertanyaannya adalah bagaimana eksistensi Pancasila tersebut? Dalam artian pemahaman terhadap nilai yang terkandung dari kelima sila dalam berkehidupan. Apakah Pancasila masih “segar”?

Dalam konteks “Menyegarkan Kembali Pancasila” ini penulis memiliki “catatan penting” tentang beberapa pesan atau persfektif, diantaranya: Pertama, Tidak ada yang salah dengan pancasila hanya saja penjabaran pelaksanaan pada masa pemerintahan sebelumnya hanya menjadi topeng dan kedok pembenaran kekuasaan semata.  Padahal sejatinya, Pancasila merupakan “Karya Agung Bangsa” (kalau dalam istilah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji:  hasil sejarah yang di susun dengan darah) para pendiri bangsa yang digali dari pengalaman, kearifan tradisi, dan realitas kemajemukan bangsa. Pancasila mengandung 5 (Lima) serangkaian nilai agung, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Kelima nilai ini merupakan suatu kesatuan utuh, tak terpisahkan mengacu pada tujuan yang satu. Dan Pancasila juga merupakan pandangan hidup bangsa, dasar negara Republik Indonesia, dan sebagai ideologi nasional. Kedua, Biarpun banyak orang yang gamang untuk berbicara tentang Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya. Walaupun Pancasila saat ini terdeskreditkan, terdangkalkan sebagai biang: disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi bangsa. Begitupun banyak orang yang phobia dan alergi untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya. Tetapi kita sebagai anak bangsa yang baik sudah seharusnya kembali untuk mengetahui, mempelajari, mendalami, mengembangkan dalam bingkai “kesetiaan” mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Ketiga, Mari kita tidak mempersoalkan kembali dasar negara, apalagi menggantinya. Itu hanya buang-buang energi. Marilah kita berbicara tentang Pancasila, kaitannya dengan konteks pembentukan dan pembangunan karakter bangsa. Marilah kita manfaatkan energi dan segala kemampuan yang ada untuk membangun bangsa, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan standar hidup, memajukan pendidikan, menjaga keutuhan wilayah, memberantas korupsi, menegakkan keadilan, memerangi kemaksiatan, dan sebagainya demi kemaslahatan seluruh warga negara. Kita akan menjadi negara yang gagal kalau kita terus ribut soal dasar negara. Tentu kita tidak mau hal itu terjadi, bukan?. Dan Keempat, Berbicara tentang pancasila bukan berarti kita harus melulu menengok ke belakang, tetapi  usaha dan perjuangan untuk merefleksikan nilai-nilai kebaikan lalu di matching-kan dengan kontekstual pada jaman sekarang. Dan untuk menyegarkan kembali Pancasila, diperlukan perhatian dan penanganan pihak-pihak terkait secara intergratif.  Peran elit pemerintah, elit politik, tokoh masyarakat, LSM, media masa, praktisi pendidikan (guru, dosen, staf pengajar, ustadz, dll), pengamat dan kepada semua elemen masyarakat dan civil society, agar bekerja sama dalam penyegaran kembali Pancasila.

Itulah sebabnya saya berpendapat untuk segera “Menyegarkan Kembali Pancasila”.   *******

Data Penulis:
Nama                                      :  Eko Supriatno, S.IP, M.Pd.
Lembaga                                 :  Direktur Banten Religion and Culture Center (BRCC)
                                                   Dosen UNMA Banten
Alamat                                     :  Perumahan Bumi kalanganyar, Blok. No. 39. RT. 003/010.  
                                                          Kalanganyar, Labuan, Pandeglang.
HP                                           :  081385628075/087805670739
Email                                       :  eko_mpd@yahoo.co.id.
No rekening                             :  BRI Cabang Labuan 0166-01-016888-50-7. Atas nama 
                                                  Eko  Supriatno.

0 Response to "Menyegarkan Kembali Pancasila "

Posting Komentar

DILARANG KERAS!!

1. Berkomentar Tidak Sopan
2. Sesuai dengan topik